Abdullah bin Jahsy (wafat 3 H/625 M)
Abdullah bin Jahsy bin Ri’ab bin Yakmur adalah seorang sahabat asal dari suku Bani Asad, saudara kandung Zainab binti Jahsy, ummul mukminin. Ipar Rasulullah Shalalahu ‘alaihi Wassalam ini meninggal dalam perang Uhud.
“Mereka bertanya tentang berperang
pada bulan Haram. Katakanlah: ”Berperang dalam bulan itu adalah dosa
besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada
Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari
sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah
lebih besar (dosanya) dari pada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya
memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu
(kepada kekafiran) seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di
antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka
itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-Baqarah:217)
Menurut beberapa ahli tafsir, ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Abdullah bin Jahsy.
Dalam Perang Uhud, kaum Quraisy laki-laki dan perempuan melakukan
balas dendam terhadap kaum Muslimin atas kekalahan mereka dalam Perang
Badar. Mereka bertindak seperti srigala buas, merobek-robek perut
Hamzah bin Abdul Muththalib, paman Rasulullah, dan memakan hatinya. Abdullah bin Jahsy
radhiallahu ‘anhu, mereka potong hidung dan daun telinganya.
Abdullah bin Jahsy radhiallahu ‘anhu bangga sekali karena ia merupakan kepala pasukan pertama yang dilantik Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dan komandan pasukan pertama yang menetapkan kemenangan perang 1/5
(seperlima) bagian untuk Rasulullah sebelum Allah mengukuhkannya.
Ayahnya adalah Jahsy bin Riab bin Khuzaimah al-Asadi, ibunya adalah
Aminah binti Abdul Muththalib bin Hasyim, dan saudarinya adalah Zainab
binti Jahsy, istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam . Jadi, dia adalah saudara misan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan ibunya, sekaligus iparnya.
Dia dilahirkan di Mekkah, dekat Baitullah al-Haram. Sesudah ia dewasa
barulah tahu jalan ke Ka’bah. Ia berdiri lama di depan Ka’bah,
mengamati jamaah haji yang datang berbondong-bondong dari seluruh
pelosok dunia.
Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri isak tangis mereka, air mata
sedih dan keharuan mereka, dan keluh kesah serta doa mereka di depan
Ka’bah yang megah itu.
Berapa kali telinganya mendengarkan rintihan dan bisikan mereka
dengan berbagai bahasa yang tidak dipahami maksud dan tujuannya. Pada
saat itu, ia merebahkan dirinya di pangkuan ibunya menanyakan dengan
penuh harap apa-apa yang dilihatnya.
Ibunya menjawabnya dengan penuh rasa kasih sayang sambil
mengusap-usap kepalanya dan pundaknya hingga ia tertidur. Putranya itu
lalu diselimuti dan didoakannya supaya Tuhan Ka’bah itu melindungi dan
memeliharanya.
Pada suatu hari, ia datang kepada ibunya sambil menangis sedih. Ia
menceritakan bahwa sekelompok orang telah meruntuhkan bangunan Ka’bah
itu.
Ibunya menenangkan hatinya, menceritakan kepadanya bahwa mereka
sedang memugar bangunan itu supaya emas perak dan permata mutumanikam
yang ada di dalamnya tidak dicuri orang akibat kerusakan yang
ditimbulkan banjir.
Pada waktu itu, Abdullah melihat bagaimana persaingan keras antara
para kabilah Arab yang berebutan ingin meletakkan Hajar Aswad di
tempatnya, hingga hampir terjadi pertengkaran dan peperangan antara
mereka.
Untunglah, akhirnya, mereka menerima gagasan sesepuh mereka untuk
menyerahkan hal itu kepada orang yang pertama kali masuk ke Baitullah
esok paginya, untuk menetapkan kabilah mana yang mendapat kehormatan
meletakkannya.
Ternyata, orang yang masuk pertama itu Muhammad al-Amin, yang
kemudian ia menggelarkan mantelnya dan meletakkan Hajar Aswad itu di
tengahnya, lalu ia perintahkan kepada semua wakil kabilah yang hadir
untuk memegang ujung mantel itu dan mengangkatnya ke dekat tempatnya,
lalu ia mengangkat dengan tangannya dan menaruh di tempatnya.
Sesudah Hajar al-Aswad diletakkan di tempatnya, para pekerja meneruskan pekerjaannya memperbaiki Ka’bah.
Sejak saat itulah, Abdullah mencintai Muhammad al-Amin dengan sepenuh
hati dan mengagumi kebijaksanaannya memecahkan masalah yang hampir
menimbulkan pertumpahan darah diantara kabilah Arab, dan caranya yang
cerdik menyertakan semua kabilah ikut merasa mendapat kehormatan
mengangkat Hajar al-Aswad ke tempatnya. Sejak itulah, ia menjadikan
Muhammad sebagai tokoh favorit dan panutannya.
Setiap hari, Abdullah berusaha menyertai dan duduk-duduk dengan
Muhammad untuk belajar lebih banyak tentang berbagai hal, baik melalui
tutur katanya maupun melalui tingkah lakunya.
Pada suatu hari, Abdullah tidak melihat Muhammad al-Amin seperti
biasanya. Ia tidak sabar menantinya, ia pergi mengetuk pintu rumahnya.
Istri beliau memberitahukan bahwa beliau ada di Gua Hira.
Ia pulang ke rumahnya dengan kecewa dan sedih karena rasa rindunya
kepada laki-laki pujaannya itu. Kapan gerangan ia kembali duduk-duduk
bersamanya lagi?.
Pada suatu pagi yang membahagiakan, menjelang fajar menyingsing,
dimana hembusan angin membawa titik-titik embun yang membangkitkan
kehidupan dan kesegaran, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
sedang sujud di tempat shalatnya, memuja dan memuji Tuhannya, tiba-tiba
ia mendengar seperti gemerincing suara lonceng, kemudian malaikat
Jibril menyampaikan wahyu dan perintah Tuhan,
“Dan, berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”. (asy-Syu’ara: 214)
Sang surya sudah menampakkan wajahnya yang perkasa dan memancarkan
cahayanya, menghalau sisa titik-titik embun yang masih ada diatas daun.
Sementara itu, Muhammad al-Amin melangkahkan kakinya menuju Bukit Shafa,
tidak jauh dari Ka’bah, lalu teriaknya, “selamat pagi, selamat pagi”.
Abdullah masih telentang diatas tempat tidurnya, matanya terbuka
lebar, sambil berpikir untuk menemui Muhammad al-Amin di Gua Hira,
seperti yang dikabarkan isteri beliau,
Khadijah. Tiba-tiba, ia mendengar kumandang suara Muhammad,
“selamat pagi, selamat pagi” dari atas bukit Shafa, tidak jauh dari rumahnya. Ia lalu melemparkan selimutnya dan pergi ke sana.
Tampaknya, suara itu berhasil mengumpulkan kaum Quraisy; semuanya berdatangan ingin tahu ada apa sepagi itu mereka diundang. Sesudah mereka berkumpul, mulailah beliau menyeru mereka,
“Hai
keluarga Ghalib, keluarga Luai, keluarga Murrah, keluarga Kilab,
keluarga Qushai, dan keluarga Abdu Manaf! Kalau aku memberitahukan
kepada kalian bahwa di balik gunung itu ada musuh yang hendak menyerang
kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?”.
Mereka menjawab serentak, “Ya, karena engkau tidak pernah berbohong kepada kami”.
Rasulullah melanjutkan,
“Maka,
janganlah kamu menyeru (menyembah) tuhan yang lain disamping Allah, yang
menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang diazab. Dan, berilah
peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkan dirimu
terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman”. (Asy-Syu’ara’: 213-215).
Kerumunan orang itu lalu bubar. Ada yang percaya dan ada yang tidak, masing-masing membela argumentasi dan kebenarannya.
Sementara itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
pulang kembali ke rumahnya. Abdullah pun kembali juga dengan membawa
kata-kata baru yang dilontarkan Muhammad al-Amin itu. Ternyata,
kata-katanya meyakinkan kalbunya, lalu ia pergi menyusul Muhammad ke
rumahnya dan meyatakan keislamannya di sana.
Sesudah ia mengucapkan kalimat syahadat, lalu ia mengajak kedua
saudara perempuannya masuk Islam juga dan ternyata mereka mengikuti
jejaknya, malah ia menjadikan salah sebuah ruangan dalam rumahnya
sebagai mushalla untuk beribadah dengan tekun dan khusyu’ kepada Allah
Ta’ala.
Akan tetapi, Quraisy telah menunggangi kepalanya sendiri. Ia
memaklumatkan perang tanpa ampun terhadap dakwah itu dan bertindak kejam
dan keji terhadap para mustadh’afin (orang-orang yang lemah) yang berani mengikuti ajaran Muhammad termasuk juga Abdullah.
Beberapa orang mustadh’afin datang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan meminta supaya Allah meringankan beban yang mereka derita. Dengan agak gusar, Rasulullah bersabda:
“Demi Allah, orang-orang sebelum kalian ditangkap dan tubuhnya dibelah
dua, namun mereka tidak bergeser dari agamanya sedikitpun. Ada lagi yang
tubuhnya disisir dengan sisir besi diantara tulang dan dagingnya,
tetapi hal itu tidak memaksa mereka beralih agama. Hal ini akan berjalan
terus hingga para musafir dari Shan’a’ ke Hadramaut tidak merasa gentar
lagi selain kepada Allah atau para gembala tidak takut lagi kepada
ternaknya dari terkaman srigala, tetapi memanglah kalian suatu kaum yang
terburu nafsu”.
Penyiksaan Quraisy makin ganas dan kejam. Abu Jahal menyiksa dan menganiaya Sumayyah, ibu Ammar radhiallahu ‘anhu hingga tewas, begitu pula suaminya, Yasir dan puteranya, Ammar.
Sudah tentu berita itu menimbulkan rasa ngeri dan gelisah pada kaum
mustadh’afin karena mereka tidak diperkenankan memaklumatkan perang
terhadap kaum mustakbirin (orang-orang bangsawan) itu. Apa yang harus
mereka lakukan sedangkan kaum kafir Quraisy tidak henti-hentinya
melakukan tindakan penindasan dan perang permusuhan?.
Mereka berkumpul dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta dicarikan jalan pemecahan dari ancaman dan terkaman orang-orang ganas dan buas yang tidak berprikemanusiaan itu.
Pada saat itulah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengemukakan gagasannya:
“Kalau
kalian mau hijrah ke negeri Habasyah, disana terdapat seorang raja yang
tidak berlaku zhalim kepada siapapun, dialah negeri kejujuran hingga
Allah membukakan kelapangan dari keadaan kalian dewasa ini”.
Kini, mereka diperkenankan melakukan hijrah, menyelamatkan diri dan
agamanya ke negeri yang lebih aman agar bisa menunaikan ibadahnya dengan
bebas dan tenang.
Pada waktu itu, Abdullah dan kedua saudara laki-lakinya serta kedua
saudara perempuannya, bahkan dengan semua anggota keluarganya, pergi
hijrah ke negeri yang dimaksudkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai negeri kejujuran, yang rajanya tidak pernah berlaku zhalim itu.
Amr ibnul Ash radhiallahu ‘anhu berkisah, “pada suatu hari,
aku duduk di Majelis an-Najasyi, Raja Habasyah, lalu masuklah Amr bin
Umayyah adh-Dhamari. Pada waktu itu, ia sedang membawa surat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
untuk Raja Habasyah itu. Sesudah ia keluar, aku berkata kepada Najasyi,
‘orang itu perutusan musuh kami. Ia yang telah menegangkan situasi dan
membuat tokoh-tokoh kami setengah mati. Serahkanlah dia kepada kami,
kami akan membunuhnya’.
Ia gusar sekali atas omongan itu, lalu ia memukul mukaku dengan keras
hingga terasa hidungku seakan-akan copot dan mengucurkan darah banyak
sekali ke bajuku. Aku merasa terhina sekali di tengah-tengah majelis
itu. Rasanya, aku lebih rela mati terkubur dalam tanah daripada
menderita malu serupa itu.
Untuk melunakkan amarahnya, aku berkata lagi, ‘kalau aku tahu baginda
akan murka seperti ini, aku tidak akan mengajukan permintaan seperti
itu’.
‘Ya Amr, kau meminta kepadaku supaya aku menyerahkan perutusan
orang yang mendapatkan Namus yang maha besar, yang pernah datang kepada
Musa ‘alaihissalam dan ‘Isa ‘alaihissalam. Kau meminta aku menyerahkan
perutusannya untuk dibunuh?’ “
“Sejak saat itu,”kata Amr selanjutnya, “dalam hati kecilku
terjadi perubahan sikap, lalu kataku dalam hati, ‘Bangsa Arab dan
‘Ajam/asing mengenal kebenaran ini sedangkan kau akan melawannya’. Aku
kemudian bertannya kepadanya, ‘Apakah yang mulia percaya atas hal itu?’.
‘Ya, Aku bersaksi di hadapan Allah, wahai Amr! Percayalah
kepadaku, dia adalah benar, dia akan dimenangkan atas orang yang
melawannya, seperti halnya Musa ‘alaihissalam dimenangkan melawan
Fir’aun dan pasukannya’.
‘Apakah yang mulia mau menerima bai’atku masuk Islam atas namanya?’.
‘Ya!, ia lalu mengulurkan tangannya membai’atku masuk Islam”.
Abdullah dan keluarganya hidup di negeri Habasyah dalam perlindungan
raja yang murah hati itu hingga datang berita yang mengatakan bahwa kaum
Quraisy sudah sadar dan masuk Islam, lalu Abdullah dan beberapa orang
Muhajirin lainnya kembali ke Mekkah.
Ternyata, berita Islamnya kaum Quraisy itu hanyalah isapan jempol
yang disebarluaskan Quraisy supaya para Muhajirin itu kembali untuk
menghadapi siksaan dan penganiayaan yang baru lagi.
Abdullah dan keluarganya tinggal beberapa saat lamanya di Mekkah hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengizinkan melakukan hijrah kembali sehingga rumah mereka di Mekkah
kosong melompong, tidak ada yang menghuninya. Sesudah Abu Sufyan melihat
hal ini, lalu ia menawarkan dan menjualnya. Sesudah berita itu
terdengar oleh keluarga Jahsy, Abdullah memberitahukan hal tersebut
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasulullah lalu menjawab,
“wahai Abdullah! Apakah kau tidak mau Allah menggantimu dengan sebuah rumah yang lebih baik di surga?”.
“Sudah tentu mau,” sahut Abdullah bin Jahsy. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan, “Nah, itu untukmu kelak”.
Sesudah kota Mekkah ditaklukkan, Abu Ahmad, saudara Abdullah bin
Jahsy, datang membicarakan lagi soal rumah-rumah keluarga Jahsy yang
dijual oleh Abu Sufyan itu, tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengulur-ulur masalah itu. Beberapa orang lalu memberi keterangan,”wahai
Abu Ahmad, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak suka membahas
kembali kekayaan yang dirampas dari kalian demi karena Allah”.
Sejak itulah, ia tidak mau lagi mengungkit-ungkit soal tersebut.
Abdullah bin Jahsy merupakan komandan pasukan pertama yang dikirimkan ke
perbatasan kota Mekkah sehingga menimbulkan kontak senjata dan
meninggalnya Amru al-Hadhrami serta tertawannya Utsman bin Abdullah bin
al-Mughirah dan al-Hakam bin Kisan, yang menimbulkan kegusaran kaum
Quraisy. Mereka berkata: “Muhammad dan kawan-kawannya menghalalkan bulan haram”.
Abdullah mengikuti Perang Badar dan semua peristiwa
sesudahnya bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hingga Perang
Uhud yang rupanya Allah Ta’ala ingin menguji kaum muslimin. Abdullah
bin Ubay, kepala kaum munafiqin di Madinah, kembali ke Madinah di tengah
perjalanan dengan 1/3 pasukan, tetapi kaum Muslimin mendesak Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tetap keluar dari Madinah.
Sebelum perang dimulai, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di sebuah pondok yang dibikin khusus baginya.
Ummu Salamah datang memberikan daging panggang kepada Rasulullah,
lalu dimakannya. Ia lalu memberikan air anggur, lalu diminumnya. Salah
seorang yang hadir lalu meminumnya dan sisanya diminum oleh Abdullah bin
Jahsy. Salah seorang bertanya kepadanya, “Tahukah kau, kemana perginya minumanmu itu esok?”.
“Ya, aku lebih suka menemui Allah dalam keadaan puas daripada dalam keadaan dahaga,” jawabnya seraya berdoa, “Ya Allah, aku mohon supaya aku memperoleh syahadah dalam jalanMu”.
Menurut putera
Sa’ad bin Abi Waqqash, ayahnya berkata,
”pada waktu itu, sebelum Perang Uhud berkobar, Abdullah bin Jahsy bertanya, ‘apakah tidak sebaiknya kami berdoa kepada Allah?”.
Mereka masing-masing berdoa. Sa’ad berdoa,”Ya Allah, kalau kami
bertemu musuh esok hari, pertemukanlah aku dengan seorang yang bertenaga
kuat dan beremosi tinggi. Saya akan membunuhnya dan merampas miliknya”.
Abdullah bin Jahsy berdoa,”Ya Allah, pertemukanlah aku esok
dengan seorang yang kuat tenaganya dan tinggi emosinya. Aku akan
membunuhnya karenaMu, lalu orang itu membunuhku, kemudian ia memotong
hidung dan kedua telingaku. Apabila engkau bertanya kepadaku kelak, ‘Ya
Abdullah, mengapa hidung dan telingamu itu?’. Aku akan menjawab, ‘Ia
dipotong oleh orang karenaMu dan karena RasulMu semata-mata, Ya Allah’.
Engkau lalu berfirman,’engkau benar, Abdullah’ “.
Selanjutnya, Sa’ad bin Abi waqqash berkata, “ternyata doa
Abdullah bin Jahsy lebih baik dari doaku. Pada keesokan harinya,
menjelang hari berakhir, aku melihat kedua daun telinganya dan ujung
hidungnya bergantung dengan seutas tali”.
Begitulah cita-cita dan dambaan pengikut Muhammad berebut maju dalam
medan perang, ingin mendapatkan salah satu diantara dua kebaikan;
meninggikan kalimat Allah dan memenangkan agamaNya atau mati syahid.
Ternyata, doa mereka dikabulkan Allah Ta’ala, cita-citanya dipenuhi sesuai dengan firmanNya,
“Berdoalah kepadaKu niscaya Aku akan memperkenankan bagimu”. ( Al-Mukmin:60)
Allah Ta’ala sudah mengabulkan doa Abdullah bin Jahsy radhiallahu
‘anhu dan sudah berkenan menerimanya di sisiNya karena ia sudah
menunaikan tugas kewajibannya dengan baik terhadap Tuhan, agama dan
Rasulnya. Jadi, fungsinya dinyatakan selesai dan takdirNya sudah jatuh
tempo. Akan tetapi, misi Sa’ad bin Abi Waqqash belum selesai, tugas
kewajiban yang menantinya masih banyak dan panjang, menunggu
penanganannya.
Seusai Perang Uhud, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menguburkan jenazah pamannya, Hamzah dan Abdullah dalam satu kubur dan memerintahkan Amru ibnul Jumuh dan
Abdullah bin Amr bin Haram juga dalam satu kubur karena keduanya kawan karib di dunia.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Aku
menjadi saksi mereka bahwa tidak terdapat luka di jalan Allah melainkan
Allah akan melahirkan kembali lukanya itu berdarah di hari kiamat;
warnanya seperti warna darah dan baunya seperti bau misk (kesturi)”.
Sebab Turunnya Ayat
Menurut keterangan Ahli Tafsir (mufassirin), pada bulan Jumadil Akhir
dua bulan sebelum Perang Badar berkobar, kira-kira tujuh belas bulan
sesudah hijrah ke Madinah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengirimkan delapan orang Muhajirin dibawah pimpinan Abdullah bin Jahsy dengan pesan,
“Pergilah engkau dengan Asma Allah
dan janganlah engkau buka suratku ini hingga engkau berjalan selama dua
hari. Sesudah menempuh jarak itu barulah engkau buka suratku itu dan
bacakan kepada kawan-kawanmu. Setelah itu, teruskan perjalananmu sesuai
perintahku. Janganlah ada diantara kawan-kawanmu itu yang pergi
mengikuti karena dipaksa (terpaksa)”.
Abdullah bin Jahsy berjalan selama dua hari, kemudian ia berhenti dan membuka surat Rasulullah itu.
“Bismillaahr-ahmaanirahiim. Amma ba’du,
pergilah engkau dengan kawan-kawan yang menyertaimu disertai keberkahan
dari Allah hingga engkau mencapai sebuah kebun kurma. Dari sana, engkau
bisa mengintai kegiatan kafilah Quraisy, lalu kau kembali membawa
berita mereka”.
Sesudah membaca isi surat itu, Abdullah berkata: ”Sam’an wa thaa ‘atan, aku mendengar dan patuh kepada perintahmu”, lalu berkata kepada para pengikutnya, “Rasulullah melarang saya memaksa kalian ikut dalam misi ini”.
Rombongan ini berjalan atas perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam dan dengan perlindungan Allah Ta’ala. Di suatu tempat bernama
Bahran, Sa’ad bin Abi Waqqash dan Utbah bin Ghazwan kehilangan ontanya.
Keduanya pergi mencari ontanya itu hingga tertinggal oleh rombongannya.
Abdullah bin Jahsy meneruskan perjalanannya sesuai petunjuk Rasulullah
hingga mencapai sebuah perkebunan kurma. Tiba-tiba, mereka melihat
kafilah Quraisy dikawal oleh Amru ibnul Hadhrami, Utsman ibnul Mughirah,
dan saudaranya; Naufal dan al-Hakam bin Kisan.
Para shahabat itu bermusyawarah tentang mereka. Salah seorang berkata, “kalau
kalian membiarkan mereka pergi malam ini, mereka akan memasuki Tanah
Haram dan kalian tidak bisa berbuat apa-apa. Akan tetapi, kalau kalian
memerangi mereka, kita ada dalam bulan haram?”. Pada waktu itu, mereka ada di akhir bulan Rajab.
Mereka ragu-ragu dan takut menindaknya. Tapi akhirnya, mereka
memberanikan dan memutuskan untuk memeranginya dengan sekuat-kuatnya.
Salah seorang dari shahabat itu lalu melepaskan anak panah kepada Amru
ibnul Hadhrami dan tewaslah ia seketika. Mereka berhasil menawan Utsman
ibnul Mughirah dan al-Hakam bin Kisan, sedangkan Naufal dan saudaranya
Utsman, berhasil melarikan diri.
Menurut keterangan sebagian keluarga Abdullah bin Jahsy, pada waktu itu, Abdullah mengatakan kepada para shahabatnya itu, “Dua
puluh persen dari kemenangan yang kita peroleh ini untuk Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam dan sisanya dibagi diantara kita”. Ini terjadi sebelum ketetapan 20% itu dikukuhkan oleh al-Qur’an.
Sesampainya rombongan di Madinah, Rasulullah bersabda kepada mereka,“Aku tidak memerintahkan kalian mengadakan peperangan di bulan haram”, seraya menolak untuk mengambil bagiannya dari hasil kemenangan itu.
Abdullah bin Jahsy dan para shahabatnya bersedih hati karena telah
bertindak di luar perintah. Lebih-lebih, setelah semua shahabat
Rasulullah menyesalkan tindakannya itu. Belum lagi kampanye Quraisy yang
dihembus-hembuskan dengan gencar, “Muhammad dan shahabatnya menghalalkan pertumpahan darah, perampasan hak milik dan penawanan orang di bulan haram”.
Sesudah pembicaraan orang dipusatkan pada soal itu, keputusan langit
turun untuk mengesahkan dan sekaligus mengukuhkan tindakan Abdullah bin
Jahsy dan kawan-kawannya itu,
“Mereka bertanya kepadamu tentang
berperang pada bulan haram. Katakanlah, ‘berperang dalam bulan itu
adalah dosa besar, tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir
kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjid Haram, dan mengusir penduduknya
dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah . Dan, berbuat
fitnah itu lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak
henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu
dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa
yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu ia mati dalam kekafiran,
maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan akhirat, dan
mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”.
Ibnu Ishaq berkata, “sesudah ayat tersebut turun, legalah Abdullah dan kawan-kawannya, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
mau menerima tawanan dan hasil rampasan perang itu. Setelah itu, datang
perutusan dari kaum Quraisy untuk menebus Utsman dan al-Hakam bin
Kisan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada perutusan itu, “Kami
tidak akan menerima tebusan keduanya hingga shahabat kami datang,
yakni: Sa’ad bin Abi Waqqash dan Utbah bin Ghazwan. Kami khawatir,
kalian telah menangkap keduanya. Kalau kalian membunuh keduanya, kami
juga akan membunuh shahabat kalian”.
Tak lama, Sa’ad dan Utbah datang, lalu Rasulullah menyerahkan kedua tawanan itu kepada perutusan Quraisy itu”.
Al-Hakam bin Kisan kemudian masuk Islam dengan baik dan tinggal bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
hingga syahid pada peristiwa Bi’ir Ma’unah. Utsman pulang kembali ke
Mekkah dan mati dalam keadaan kafir. Adapun Naufal terjatuh bersama
kudanya ke dalam lubang parit (khandaq ) sehingga tewas tertumbuk batu.
Kaum Musyrikin meminta mayatnya dengan imbalan uang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Bawalah, karena mayatnya buruk dan tebusannya buruk”.
Renungan
Di sebelah Baitullah al-Haram, rumah yang Allah jadikan daerah aman
dan damai bagi hamba-hambaNya, menyambut doa bapak para nabi, Ibrahim ‘alaihissalam , “Ya Tuhan, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa”.
(al-Baqarah: 126). Di sana, Asma’, ibu Ammar dan Yasir, ayahnya,
dibunuh dengan keji dan kejam, bukan karena berdosa tapi semata-mata
karena keduanya menyatakan “Tuhan kami hanya Allah”.
Di daerah yang Allah tetapkan sebagai daerah aman dan damai secara
mutlak dari semua sengketa, peperangan dan pertengkaran, supaya mereka
kembali sadar dan menginsafi apa yang tepat dan benar, hidup bersaudara
dan berdampingan di dalam daerah itu, oleh kaum Quraisy dijadikan ajang
pembunuhan sekelompok orang yang tiada berdaya dan berdosa.
Mereka dipaksa keluar dan menyimpang dari agamanya. Mereka dilarang
mengikuti pelajaran yang diberikan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Allah sudah menetapkan bahwa daerah Masjid al-Haram dan sekitarnya
itu semacam daerah margasatwa, dimana burung-burung bebas beterbangan
tanpa rasa takut, dimana hewan, manusia dan bahkan serangga bisa hidup
berdampingan secara aman dan damai tanpa rasa takut satu dengan yang
lainnya. Mengapa negeri yang telah ditetapkan menjadi daerah aman dan
damai berubah menjadi daerah yang menakutkan dan penuh kengerian. Daerah
bebas merdeka itu berganti menjadi daerah perbudakan, dimana kebebasan
orang memilih agama dan hak mengamalkan keyakinannya dibatasi dan
dihalang-halangi.
Menyambut seruan agama tauhid yang dikumandangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dicap sebagai kafir dan murtad karena keluar dari agama nenek moyang
yang percaya kepada berhala-berhala ; Latta, ‘Uzza dan Manat yang
dideretkan di sekitar Ka’bah.
Allah telah menetapkan haram (suci)nya rumah itu sejak Ibrahim dan putranya Ismail ‘alaihimassalam
membangunnya. Sejak saat itulah, Allah telah menetapkan daerah itu aman
bagi semua orang dan sekaligus daerah haram mengadakan peperangan dan
pembunuhan.
“(Dan) ingatlah ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman…”. (Q,.s. al-Baqarah: 125)
Rahmat dan nikmat yang dikaruniakan Alah kepada hambaNya itu oleh
kaum Quraisy disulap bagi kaum mustadh’afin di daerah aman dan damai
itu. Mereka dikejar dan disiksa, agamanya diejek dan dihina, keluarganya
diganggu dan dianiaya.
Alasan palsu mereka diungkapkan oleh al-Qur’an,
“…jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu niscaya kami akan diusir dari negeri kami…”. (al-Qashash:57)
Siapa selain mereka yang mampu melakukan tindak kejahatan di daerah
itu? Siapa yang berani melanggar haram Allah seperti mereka?.
Memang pernah terjadi, Abrahah dengan pasukan gajahnya hendak
menghancurkan Baitullah al-Haram itu. Ia dengan sombongnya datang sampai
di pinggiran kota Mekkah. Semua nasehat dan peringatan orang tidak
diindahkan. Kaum Quraisy tahu apa yang dikehendaki Abrahah. Mereka juga
tahu kekuatan pasukan Abrahah. Maka dari itu, mereka tidak berpikir
hendak melindungi Ka’bah dari serangannya. Mereka melarikan diri ke luar
kota Mekkah.
Abrahah kaget melihat sikap kaum Quraisy yang membiarkan kotanya
terbuka, tidak dipertahankan sedikitpun. Malah, ia merasa heran ketika
Abdul Muththalib, sesepuh kota Mekkah, datang menghadapnya untuk meminta
ontanya dikembalikan dan tidak berbicara soal Baitullah sama sekali,
hanya menjawab dengan jawaban yang tersohor itu, “onta itu milik saya sedangkan al-Bait itu ada Pemiliknya yang nanti akan melindunginya!”.
Tak salah lagi dugaan Abdul Muthathlib, Tuhan al-Bait itu telah
melindunginya dari serangan Abrahah dan pasukannya. Mereka yang hendak
berbuat onar, hendak mengeruhkan suasana aman dan damai di daerah haram
itu, dihukum.
“Dan, Dia mengirimkan kepada mereka
burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu
(berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti
daun-daun yang dimakan (ulat)”. ( Al-Fiil: 3-5).
Kepandaian mereka bersilat lidah, “Jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu niscaya kami akan diusir dari negeri kami”, langsung dipatahkan dengan firmanNya,
“Dan,
apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah haram (tanah
suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala
macam (tumbuh-tumbuhan) untuk menjadi rezeki (bagimu) dari sisi Kami?
Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (Al-Qashash:57).
Disamping menjadikan Mekkah sebagai daerah damai, Allah Ta’ala juga
menjadikannya bulan-bulan haram sebagai masa-masa damai, tetapi bangsa
Arab mempermainkan bulan-bulan itu sesuai dengan selera dan nafsu
mereka. Adakalanya dipercepat dengan fatwa pimpinan agama atau
kabilahnya yang kuat dari tahun ke tahun.
Sesudah Islam datang, ia menetapkan dengan tegas bahwa penundaan
percepatan, dan perubahan dari ketetapan Allah itu hukumnya kafir, batil
dan sesat,
“Sesungguhnya mengundur-undurkan
bulan haram itu adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang
kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkan pada suatu
tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat
menyesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka
menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Setan) menjadikan mereka
memandang baik perbuatan mereka yang buruk itu. Dan, Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (At-Taubah:37).
Jelaslah bahwa kaum Quraisy yang pertama merusak kelestarian daerah
damai itu. Mereka mempermainkan pantangan pada bulan-bulan itu. Kaum
Muslimin dijadikan bulan-bulanan karena agamanya; mereka dikejar-kejar,
disiksa, diananiaya, dipecuti, dijemur diterik padang pasir, dan bahkan
ada yang dibunuh karena tidak mau murtad dari Islamnya. Mereka lebih
suka pergi berhijrah sesudah izin dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
meninggalkan tanah air tercintanya, meninggalkan semua harta milik yang
diperoleh dari hasil jerih payah seumur hidup, demi mempertahankan iman
dan tauhidnya.
Sudah tentu kaum Muslimin akan menuntut balas kapan pun dan dimana
pun terhadap gerombolan penjahat yang sesat itu. Tidak heran kalau
luapan itu diledakkan oleh pasukan yang dipimpin Abdullah bin Jahsy
sehingga menimbulkan korban tewas dan beberapa orang tertawan di
kalangan Quraisy, seperti diutarakan di awal pembahasan.
Oleh kaum Quraisy, kejadian itu dimanfaatkan menarik simpati kabilah
Arab dan sekaligus untuk memecah-belah barisan kaum Muslimin. Mereka
menghasut bahwa pengikut Muhammad telah merobek-robek kehormatan
bulan-bulan haram. Kampanye lihai mereka hampir berhasil memecah-belah
barisan kaum Muslimin. Untunglah keputusan langit cepat turun,
mengingatkan kaum Muslimin supaya tetap memelihara persatuan dan
kesatuannya, dan supaya tidak menganggap remeh tindak-tanduk dan fitnah
lawan-lawannya itu.
“Mereka bertanya kepadamu tentang
berperang pada bulan haram. Katakanlah, ‘berperang dalam bulan itu
adalah dosa besar, tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir
kepada Allah, (mengahalangi masuk ke) Masjid al-Haram, dan mengusir
penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan,
berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak
henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu
dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa
yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu ia mati dalam kekafiran,
maka mereka itulah yang sia-sia amalnya di dunia dan akhirat, dan mereka
itulah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (Al-Baqarah: 217) .
Demikianlah berita wahyu itu mengungkapkan tampang kaum Quraisy yang
sebenarnya, bagaimana taktik dan strategi mereka menghadapi kaum
Muslimin, mereka akan berusaha sekuat-kuatnya dengan segala cara, legal
atau ilegal, halal atau haram, memaksa mereka menjadi kafir kembali.
Akan tetapi, kehendak Allah sudah menetapkan umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang konsekuen menjalankan ajaran agamanya akan dijadikan pemimpin dunia seluruhnya.
“Dan, demikian (pula) Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasulullah (Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu..”. (Al-Baqarah: 143).
Memang secara keseluruhan, mental dan moral jamaah Islam dapat
menahan diri dan menghindarkan diri dari godaan duniawi, menyambut
dengan patuh titah peritah Allah Ta’ala, tidak melakukan penyerangan
terhadap mereka yang telah mengusir keluar dari tanah airnya, yang
merampas harta bendanya, dan yang tidak memperkenankan menunaikan
manasik haji di Baitullah al-Haram. Mereka merasa gusar dan marah dalam
hati atas sikap lawan-lawannya itu, namun mereka harus mampu menahan
diri sesuai dengan petunjuk agamanya.
“…Dan, janganlah sekali-kali
kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu
dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu
kepada Allah sesungguhnya Allah amat berat siksaNya”. (Al-Maidah: 2).
Kaum Muslimin menyambut dengan lapang dada dan sukacita ajaran yang
digariskan langit itu. Mereka memelihara persatuannya, memadu
kegiatannya, menaburkan bibit kebaikan dan ketakwaan dan menumpas
kuman-kuman dan permusuhan. Dalam sekejap saja, dunia menyambut mereka
bagai pemimpin dan guru dunia. Akan tetapi, mengapa cucu-cucu mereka
kini berpaling hanya menjadi pengekor?. Bagaimana mereka telah
menghilangkan landasan hidup yang mereka rintiskan? Allahumma ihdi
qaumi. Wallâhu a’lam .